![]() |
Ilustrasi gambar ini menggunakan kecerdasan buatan (AI). |
Oleh: Kiai A Dardiri Zubairi
Kemarin (Minggu 11 Mei), pukul 10.00 WIB saya memenuhi undangan MTs Nasy'atul Muta'allimin. Acaranya untuk mendampingi anak saya, si bungsu, yang mengikuti ujian terbuka kitab kuning sebagai syarat lulus kelas 9. Dalam ujian itu, setiap anak diminta untuk membaca beberapa baris kitab gundul yang bab-nya dilotre sebelum tampil. Setelah rampung setiap anak membaca lengkap dengan maknanya, penguji kemudian menanyakan nahwu dan sharrafnya, sejak i'robnya, kedudukannya, pengertian, serta shighat dan tashrifnya. Kemarin ada 12 siswa (putra) yang diuji, di samping putri yang diuji di tempat terpisah.
Sekali maju, ada 6 siswa yang tampil. Mereka duduk di depan berjejer dari kiri ke kanan, sementara 6 siswa tersisa dan para wali duduk di hadapan mereka. Mereka bergiliran diuji dimulai dari sisi kanan (dari sudut pandang duduknya wali) terus ke kiri. Secara umum mereka tampil bagus, karena saya meyakini mereka sudah mempersiapkan diri. Tampil di depan bagi anak MTs apalagi disaksikan orang tua tentu merupakan pengalaman berbeda. Setidaknya mereka tak mau mengecewakan orang tuanya.
Setelah 12 siswa menyelesaikan ujiannya, pihak madrasah mempersilahkan kami untuk makan nasi yang telah kami terima ketika baru masuk. Nasi itu cuma satu bungkus yang dibalut daun pisang. Lauknya juga dibungkus secara terpisah dengan daun yang sama. Yang menarik, pihak Madrasah meminta wali agar nasi bungkus dimakan berdua bersama anak. "Barangkali di rumah bapak jarang makan bersama anak, kami mohon di sini bapak sekalian makan bersama"
Satu persatu siswa mendekat sama ayahnya, mencari tempat yang nyaman di ruangan itu. Saya sama anak bergeser ke depan seukuran dua langkah dari tempat duduk saya sebelumnya. Sambil membuka nasi dan lauk, anak saya berbisik, "Ba, kasihan sama Imron (bukan nama sebenarnya), orang tuanya sudah meninggal". Dor. Saya kaget. Ternyata di ruangan ini, dari 12 siswa yang ujian hari ini, ada satu orang yang tidak ada Ayahnya. Saya mencoba memandang ke arah pojok dimana Imron berada seperti yang ditunjukkan anak saya. Betul. Di sana ada anak yang duduk sendirian, tanpa kehadiran seorang Ayah. Rupanya anak itu belum makan, di saat yang lain sudah menyantapnya.
Reflek saya memintanya untuk bergabung dengan kami. "Imron, ayo ke sini, gabung dengan saya. Bawa makanannya ke sini". Saya tidak tahu apa karena terpaksa atau senang, Imron menghampiri kami. Saya meminta anak saya untuk membukakan nasi bungkus dan lauknya. Kami pun mulai makan bersama.
Sambil makan saya mulai ngobrol meski terasa kelu. Hawatir obrolan saya justru menepikannya dalam suasana yang makin tidak nyaman. Saya merasakan betul, bagaimana ditinggal orang tua. Begitu terpukul meski ketika saya ditinggal sudah berkeluarga dan punya anak. Saya tidak bisa membayangkan dan masuk dalam suasana batin Imron, yang masih berusia 15 tahun, di saat ia mengharapkan ayahnya hadir ke Madrasah seperti teman-temannya yang 11 orang itu justru tak terpenuhi karena ayahnya sudah mendahuluinya. Kamu kuat sekali nak.
Ia bercerita, ayah dan kakaknya meninggal. Yang ada tinggal ibu. Saya tak mampu bertanya lagi. Saya melihatnya ada rona kesedihan meski senyumnya tetap mengembang. Saya cuma bisa berkata, "yang kuat ya". Ia pun mengangguk.
Tanpa banyak bicara, kami pun melahap makanan sambil membiarkan pikiran mengembara ke mana-mana. Imron telah mengilhami kami begitu berharganya orang tua bagi anak. Kontras faktanya, begitu banyak orang tua termasuk ayah, yang meyatimkan anak sebelum orang tuanya sendiri meninggal. Ayahnya ada, cuma keberadaannya sama dengan tidak ada. Pantas Indonesia menempati urutan ke tiga sebagai negara fatherless, dimana ayah tak terlibat dalam pola asuh anak. Menurut data UNICEF tahun 2021, ada sekitar 40,9% anak tumbuh tanpa kehadiran Ayah. Jika begitu, bukankah mereka meyatimkan anak sebelum mereka sendiri mati?