![]() |
Pengasuh Pondok Pesantren Nasy'atul Muta'allimin, Kiai A Dardiri Zubairi. (Foto: Agus) |
Gapura Timur, NASA - Dalam suasana khidmat dan penuh semangat, Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin memperingati hari lahirnya yang ke-66. Mengusung pesan mendalam tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup sebagai bagian dari akhlak kepada Allah SWT.
Melalui tema 'Pesantren Kehidupan: Harmoni Manusia dan Alam', acara yang dipusatkan di halaman Stainas ini menjadi panggung refleksi dan seruan moral bagi seluruh elemen masyarakat pesantren untuk memperkuat peran dalam menjaga kelestarian alam.
Dalam sambutannya, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Kiai A Dardiri Zubairi menegaskan bahwa krisis lingkungan bukan hanya isu teknis, tetapi menyentuh nilai-nilai akhlak dan spiritualitas manusia terhadap Sang Pencipta.
“Akhlak kepada Allah tak bisa dipisahkan dari akhlak kepada manusia dan alam. Merusak bumi sama artinya menyalahi amanah-Nya,” tegasnya.
Kiai Dardiri lantas menyinggung isi ayat Al-Qur’an yang kini benar-benar nyata terjadi. Yakni tentang kerusakan alam baik di darat dan laut akibat ulah tangan manusia. Beliau lantas menyerukan agar pembangunan tidak menjadi kedok keserakahan yang mencederai tatanan semesta.
“Satu bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah," tegas Kiai Dardiri mengutip kata-kata masyhur Mahatma Gandhi.
Krisis Lingkungan: Tanggung Jawab Kolektif
Lebih jauh, Kiai Dardiri juga mengurai sejumlah fakta-fakta krusial sebagai bukti nyata darurat ekologi yang tengah dihadapi bangsa ini. Salah satunya adalah penyusutan lahan pertanian sekitar 60–70 ribu hektare per tahun.
"Karena telah beralih fungsi menjadi bangunan, perhotelan, industri dan lain sebagainya," jelasnya.
Kemudian deforestasi atau penggundulan hutan mencapai 175 ribu hektare per tahun. Banyak di antaranya untuk perkebunan kelapa sawit.
Bahkan, produksi sampah nasional menembus angka 76 ribu ton per hari, menjadikan Indonesia sebagai penghasil sampah terbanyak kedua di dunia.
"Di lingkungan pesantren [Nasy'atul Muta'allimin] sendiri, tercatat 4 ton sampah dihasilkan setiap bulan," terang Kiai Dardiri.
Luas wilayah tambang di Indonesia telah mencapai lebih dari 9 juta hektare. Dikuasai oleh 10 perusahaan besar yang luas wilayahnya hampir setara dengan separuh Pulau Jawa.
Kondisi ini, menurut Kiai Dardiri telah menyebabkan krisis iklim. Bencana alam terjadi karena ketidakseimbangan ekosistem alam. "Perubahan iklim ekstrem menyebabkan kemarau basah, banjir, dan gagal panen," terangnya.
Kiai Dardiri juga menyoroti ancaman krisis air di Pulau Madura yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2050. Hal itu disebabkan karena rusaknya batuan bebatuan yang selama ini menjadi penampung alami air di bawah tanah.
Langkah Kecil yang Berdampak Besar
Sebagai bagian dari aksi nyata, seluruh warga pesantren diajak untuk memulai perubahan dari hal-hal sederhana. Seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Menjaga kebersihan lingkungan secara konsisten. Serta mendidik santri dengan nilai-nilai akhlak ekologis sejak dini.
“Jika kita tak mampu memperbaiki seluruh dunia, setidaknya kita tidak ikut merusaknya,” tegasnya.
Kiai Dardiri juga berkomitmen meneguhkan pesantren sebagai pusat pembentukan akhlak yang holistik: kepada Allah, sesama manusia, dan alam semesta.
Sebab, menurut Kiai Dardiri, tiga pilar ini adalah pondasi peradaban yang tak boleh tercerabut dari kehidupan santri dan bangsa.
Sebagai informasi, acara puncak Harlah ke-66 Pondok Pesantren Nasy'atul Muta'allimin Gapura ini menghadirkan Masyayikh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, KH Muhammad Ali Fikri dan KH Ach Maimun Syamsuddin sebagai penceramah.
Tampak hadir pula para masyaikh, tokoh masyarakat, wali santri, dewan guru, hingga santri dari semua jenjang pendidikan.
Kontributor: Amanul Khoifin dan Syamsul Wahed
Editor: Ibnu Abbas