![]() |
KH Muhammad Imam Aziz. (Foto: alif.id) |
Oleh: KA Dardiri Zubairi
Sejak kepergiannya hari Sabtu (12/7) kemarin, duka belum juga berakhir.
Saya mengenal nama KH Muhammad Imam Aziz (saya memanggil Mas Imam Aziz) sebenarnya sejak masih duduk di bangku Madrasah Aliyah di Sumenep. Melalui kakak yang kuliah di IAIN Yogyakarta, saya mengenal beliau melalui tulisan-tulisannya, entah saya lupa di media apa.
Ketika kuliah di IAIN Ciputat, nama mas Imam Aziz makin saya kenal, terutama sebagai salah satu pendiri LKiS yang saat itu menerbitkan buku-buku kritis dan progresif. Buku-buku seperti Kiri Islam, Islam dan Teologi Pembebasan Ali Asghar dan Dekonstruksi Syariah menjadi bacaan dan bahkan kajian di kalangan kaum muda NU Ciputat.
Perjumpaan saya dengan mas Imam ketika saya mewakili PMII Ciputat mengikuti Pelatihan HAM yang diinisiasi oleh PMII Yogyakarta. Yang jelas saat itu ada Mas Imam Aziz, Mas Jadul Maula, Mas Sastro Ngatawi (entah saya lupa yang lain) sebagai panitia sekaligus fasilitator. Dua orang yang menjadi nara sumber pelatihan itu adalah Gus Dur dan George Adijondro, tokoh antagonis Orba yang saat itu diburu-buru.
Wajar jika saya senang campur deg-degan sejak berangkat dari Ciputat untuk mengikuti acara itu. Tiba di Yogya saya diminta transit di Asrama Mahasiswa. Malam harinya seluruh peserta diangkut ke daerah yang saya lupa dimana, tetapi yang saya ingat lokasinya di sebuah pesantren yang jauh dari kota Yogya. Sepertinya tempat itu memang sengaja dipilih panitia untuk menghindari intel Orba Baru. Menjelang sessi Gus Dur dan George tempat dipindah lagi karena lokasi pertama sudah tercium Intel.
Tentu saya hanya melihat dan mendengar Mas Imam ketika bicara sebagai fasilitator, karena selama acara saya tidak berkenalan atau sekedar ngobrol dengan beliau. Tetapi saya sudah memiliki kesan positif terhadap Mas Imam. Beliau adalah Sosok pendiam dan tenang, bicara runtut, tajam, kritis dan jelas keberpihakannya terhadap kaum mustadhafin.
Sehabis kuliah di Ciputat saya pulang ke Sumenep. Tahun 2000 Ketika saya menjadi ketua PC Lakpesdam NU Sumenep, saya banyak terhubung dengan teman-teman Lakpesdam di hampir seluruh Indonesia. 2006 ketika saya menjadi ketua periode kedua, PC Lakpesdam NU Sumenep terlibat di Syarikat mengupayakan rekonsiliasi korban 65/66 di akar rumput, satu isu yang sensitif pada waktu (bahkan hingga sekarang). Selama bermitra dengan Syari'at, saya makin mengenal Mas Imam Aziz.
2016 saat saya menjadi wakil ketua PCNU Sumenep berkesempatan mengundang Mas Imam Aziz menjadi nara sumber Halaqah Kedaulatan Tanah. Halaqah ini diselenggarakan PCNU Sumenep merespon banyaknya tanah-tanah rakyat (warga Nahdliyyin) yang diborong investor, terutama di pesisir pantai di Sumenep. Dalam halaqah Mas Imam Aziz menyampaikan kegembiraannya terhadap PCNU Sumenep yang berani mengangkat isu ini, karena biasanya pengurus NU di banyak tempat tidak peduli terhadap isu ini.
Mas Imam Aziz dalam halaqah merunut gagasannya tentang tanah jauh ke peristiwa pra dan pasca konflik 65/66. Menjelaskan konteks lahirnya UU pokok agraria dan dinamikanya dalam konteks pembangunan kapitalistik yang didukung negara serta bagaimana seharusnya posisi NU. Penjelasannya runtut dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami karena pesertanya para kiai dan pengurus MWC NU se Sumenep. Waktu itu seorang kiai (namanya KH Zuhri, beliau sudah wafat meninggal) yang bilang di forum dengan lantang begini, "jika mendengar penjelasan KH Imam Aziz, menjaga kedaulatan rakyat itu Aswaja banget". Ini menunjukkan bahwa Mas Imam memiliki kemampuan menjelaskan soal pelik dengan sangat simple, sesuatu yang memudahkan beliau berkomunikasi dengan para kiai sepuh.
Terakhir saya bertemu dengan mas Imam pada tahun 2019. Beliau datang bersama mas Tri Chandra, mitranya di Syarikat (paska pilpres beliau berdua menjadi stafsus Wakil Presiden KH Ma'aruf Amin). Selama beberapa jam kami (Mas Imam, Mas Chandra, A. Warits, dan saya) ngobrol soal dinamika politik dan persoalan ekonomi rakyat di Madura di Kancakona Kopi, kafe yang didirikan oleh santri.
Seperti biasa, ketika kami ngobrol Mas Imam duduk tenang, tekun mendengar sambil menyeruput kopi dan mengisap rokok. Saat yang tepat baginya merespon obrolan kami, Mas Imam baru bicara. Tajam, runtut, kuat dan memberi insight serta inspirasi. Yang selalu saya ambil pelajaran dari Mas Imam adalah keajegannya untuk selalu bergerak, terutama dalam mengurai isu-isu kerakyatan dan kaum lemah.
Mas Imam sudah wafat. Ada banyak kawan dan teman yang memberi kesaksian tentang peran dan sumbangan Mas Imam bagi NU, Indonesia, dan kemanusiaan. Di kalangan anak-anak muda NU lintas generasi Mas Imam adalah nyawa pergerakan. Pemikiran, pergerakan, serta kepeduliannya pada kaum pinggiran menyelusup dan meluber kemana-mana.
Integritas, kesederhanaan, serta tawadlu'nya menjadi magnet yang menghisap trust banyak orang kepadanya. Inilah saya pikir kekuatan lain yang ada pada Mas Imam. Dia ibarat akar, tak terlihat, tapi menghidupi batang, cabang, dan ranting pohon untuk menyebar oksigen bagi kehidupan orang-orang, terutama bagi yang terpinggirkan. Orang seperti beliau tak butuh panggung. Wajahnya selalu diseruakkan ke dalam tanah, tersembunyi, dan bekerja dalam keistiqamahan dari sana.
Alfatihah
Sumenep, 17 Juli 2025